POJOK

Suara Hati Ibu Yesus

Oleh : Retta Nadira

Jika aku boleh memilih, aku ingin mati sebelum hari ini, Nak. Jika saja aku boleh memperpanjang waktu lagi, aku tidak akan membiarkanmu keluar dari rumah ini, hingga aku tak perlu menghadapi hari ini.

Mataku terbelalak menatap wajah Yohanes. Pundakku mulai merasakan kengiluan yang tajam. Mampukah aku, Nak? Mampukah aku? Mungkin untuk menyiapkan hatiku aku sudah tak mampu. Aku masih berharap aku belum bangun dari tidurku. Aku harap ini hanya mimpi bagiku.

Badai tadi malam seolah menyambut rasa takut, pilu dan khawatir yang hebat. Anakku, aku ingin bersamamu saat ini, mendekapmu dengan penuh rasa aman. Bolehkah kuulang lagi masa kecilmu? Bolehkah aku mendekap tubuhmu dalam keadaan baik-baik saja saat ini? Aku ingin sekali anakku. Aku ingin sekali.

Ketakutan-kekalutan bercampur membuat tulang-tulangku terasa ngilu. Aku ingin berteriak, marah, hingga menangis, Anakku. Dulu, saat kau masih dalam rahimku, aku berjalan penuh kesakitan untuk dapat bertemu denganmu. Haruskah saat ini aku berjalan dengan kesakitan yang tak terperikan untuk berpisah denganmu? Untuk melihat siksaan hingga aku harus kehilanganmu?

Masih adakah waktu untukku melihatmu sama seperti saat terakhir aku melihatmu sebelum hari ini? Mengapa aku bisa berjalan untuk melihat hal yang paling menyakiti diriku sendiri? Mengapa aku bisa berjalan untuk melihat anak yang paling kucintai tersakiti di depan mataku?
Apa aku bisa, Nak? Apa aku mampu? Bisakah mereka memberiku alasan mengapa aku harus ada di situasi ini? Dan apa kau bisa menjawab semua ini? Saat ini juga, Nak?

Aku menyusuri dukaku dengan tulang-tulang yang tak bisa kurasakan lagi. Ini saat terbaik dimana seorang Ibu harus merelakan anak yang dikasihinya. Ini tempatnya. Tempat dimana duka terbesar bagiku akan dimulai.

Tatapan-tatapan penuh kebencian. Sederet kata kasar. Wajah mereka begitu menyeramkan. Anakku, Ibu ketakutan. Mereka meludah seenak mereka, mereka mengumpat, mereka bersumpah tentang seorang yang belum mereka kenal. Sementara aku mencoba berdiri di tempat ini, mencari yang mereka benci. Mataku mencoba mencarimu. Hingga aku melihat tubuhmu diseret tanpa belas kasihan. Tanganmu diikat seolah kau seorang pencuri. Sungguh pemandangan yang sangat tidak ingin aku lihat, Nak. Sangat kubenci.
Tangan yang biasa mengusap peluh dan air mataku, tangan yang mendekapku saat aku merasa kesepian. Mengapa saat ini aku tak bisa menyentuhnya, Nak? Terikat dan mereka menarik tanpa peduli kau sangat kesakitan.

Wajahmu penuh luka. Anakku itu tampan. Saat ini aku tak melihat ia setampan itu lagi. Tubuhmu sangat layu. Aku tak pernah melihatmu seperti ini anakku. Tak seharusnya kau ada disini.
Semua teriakan, hujatan, hinaan, melucuti seluruh tubuhku. Mereka mengolok-olokmu seolah mereka yang paling mengenalmu. Tubuh yang lahir melalui tubuhku. Aku adalah tempat terhangat bagimu. Aku yang menatap wajahmu pertama kali. Dan aku yang pertama kali menggambarkan dunia padamu. Aku yang paling mengenalmu, di antara mereka yang menghujanimu dengan segala tuduhan. Aku merasa telanjang saat ini, saat mereka mengatakan hal buruk yang tak pernah aku tahu itu berasal darimu. Mereka melucuti semua pakaianmu. Kepalamu diinjak tubuhmu tercabik-cabik dan seluruh tulangku patah bersama teriakanmu.

Aku ingat betul tangisan pertamamu saat kau hadir di dunia ini. Aku hafal betul tangisanmu saat kau berlarian dan terjatuh. Tak pernah aku mendengar teriakan kesakitanmu yang seperti ini anakku.

Sungguh, aku ingin mati sebelum hari ini.
Seluruh tubuhmu bercucuran peluh dan darah. Tak bisakah mereka semua diam!!! Apakah belum cukup melihatmu terluka seperti ini? Tidak puaskah mereka semua?

Tapi aku tahu, ini semua belum berakhir, Nak? Masih ada jalan yang panjang.
Bayangkan peluhmu menetes pada setiap luka-luka di tubuhmu saja aku sudah kehilangan nyawaku. Jiwaku sungguh sudah tak berada di ragaku ini, Nak. Aku tetap akan mencobanya, Nak. Aku akan tetap menemanimu sampai rencanaNya terjadi.

Terombang ambing
Tersayat
Tertusuk
Lapar dan haus
Dimana peranku, Nak?

Hanya menemanimu tanpa mampu berbuat apa-apa.
Tak bisa memberimu sedikit minum.
Aku adalah sumber hidupmu saat pertama kali kau hadir, lalu sekarang aku merasa tak berguna melihatmu haus, lapar dan hancur.
Bisakah? Bisakah kuubah?
Atau waktu sedikit mundur agar aku bisa perbaiki banyak hal sebelum hari ini?

Lemah.
Tertancap.
Dan tergantung.
Darahmu mengucur.

Selesai.
Sudah selesai.

Daging dari dagingku, darah dari darahku.
Anakku, ijinkan aku mati bersamaMu.

Baca juga : Santa Perawan Maria Diangkat Ke Surga