Sejarah Paroki

Sekokoh Batu Penjuru, Setegar Batu Karang

Bangunan megah dengan arsitektur khas Negeri Kincir Angin itu masih kokoh, tegar berdiri. Usianya telah lebih dari seabad, namun pesonanya tetap melekat di hati umat. Gereja Jago, demikian umat dan masyarakat Ambarawa lebih mudah menyebutnya. Bukan tanpa alasan kiranya, mengingat gada-gada berbentuk ayam jago yang diletakkan pada bagian puncak menara itu sampai sekarang masih berfungsi dan tak pernah mengeluh diterpa pusaran angin yang rajin bertiup di cekungan Kota Ambarawa dengan perbukitan dan gunung-gunung yang melingkupinya.

Sejarah panjang Gereja Santo Yusup Ambarawa atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gereja Jago tak lepas dari era kolonialisme Belanda di Ambarawa. Letak Ambarawa yang strategis, di persimpangan Semarang, Yogyakarta dan Surakarta, serta adanya Fort Willem I (Benteng Pendhem) dan Stasiun Kereta Api, membuat keberadaan militer hingga warga sipil Belanda di Ambarawa membutuhkan pelayanan rohani. Bertolak dari kondisi inilah Pemerintah (Hindia-Belanda) kemudian mendatangkan Pastor-Pastor Katolik langsung dari Negeri Belanda kala itu.

Pada awalnya, para Pastor Belanda tersebut hanya bertugas memberikan pelayanan rohani termasuk mengadakan Perayaan Ekaristi rutin kepada orang-orang Belanda. Seiring waktu, mereka sekaligus juga mengusung karya misionaris serta mengabarkan Injil di daerah Ambarawa dan sekitar.

AMBARAWA SEBAGAI BASIS MILITER BELANDA

Berdasarkan buku “Chronologisch Overzicht Van De Werkzaamheid Der Jezuieten In De Missie Van Ned. Oost-Indie”, tercatat pada 2 Agustus 1859, Pemerintah (Hindia-Belanda) mengeluarkan Surat Keputusan perihal pendirian Stasi baru di Ambarawa. Adapun pendirian Stasi baru  tersebut atas dasar usulan dari Mgr. Petrus Maria Vrancken selaku Vikaris Apostolik Batavia. Jumlah umat Katolik yng tersebar membuat cakupan wilayah Stasi Ambarawa terbilang cukup luas, termasuk daerah Salatiga, Surakarta, Madiun hingga Pacitan. Diperkirakan jumlah seluruh umat Katolik sekitar 1.250 orang, dimana sebagian besar dari mereka adalah militer.  

Masih pada tahun yang sama, tepatnya pada 29 Agustus 1859, C.J.H. Franssen yang sebelumnya bertugas di Surabaya dipindah untuk melayani Stasi Ambarawa. Beliau ditunjuk sebagai Pastor pertama di Ambarawa, serta membentuk Pengurus Gereja dan Papa Miskin (PGPM) pada 26 Desember 1859. Adapun pusat kegiatannya di Fort Willem I, sebuah rumah sakit militer terbesar pada saat itu. Pastor C.J.H. Franssen juga mendapat ijin dari Mgr. Petrus Maria Vrancken untuk mendirikan bangunan gereja dan pastori yang juga disetujui oleh Pemerintah Hindia-Belanda. Adapun Dekrit pendirian bangunan gereja baru tersebut baru keluar pada 30 April 1860.

Pada 16 Agustus 1861, Pastor J.P.N. Sanders yang sebelumnya bertugas di Larantuka, ditugaskan di Ambarawa. Sebaliknya, Pastor C.J.H. Franssen yang belum genap satu tahun di Ambarawa, ditugaskan menggantikan Pastor J.P.N. Sanders di Larantuka.

Dikarenakan sakit, Pastor J.P.N. Sanders bertolak meninggalkan Ambarawa menuju Belanda pada 15 Maret 1862. Sebagai penggantinya, pada 31 Mei 1862, Pastor J.F. van der Hagen, SJ ditunjuk sebagai Pastor Ambarawa. Sejak saat itu, Ambarawa mulai dilayani oleh Pastor-Pastor dari Serikat Yesus (SJ).

Jumlah umat Katolik di Ambarawa tercatat sebanyak 1.787 orang pada akhir tahun 1864. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.206 umat berasal dari militer Belanda. Namun demikian, dari jumlah umat sebanyak itu, hanya 199 umat yang sudah menerima komuni. Pada tahun yang sama, juga terjadi pembaptisan sebanyak 88 umat serta 3 pernikahan.

Pada permulaan tahun 1866, Mgr. Petrus Maria Vrancken mengirim sebuah laporan ke Roma mengenai keadaan Gereja di Vikariatnya. Laporan tersebut mengatakan bahwa terdapat 8 Stasi, yaitu Batavia, Semarang, Ambarawa, Yogyakarta, Surabaya, Padang, Sungaislan (Bangka) dan Larantuka.

Berikutnya, pada 13 Juli 1867, Pastor Joannes de Vries, SJ menggantikan Pastor J.F. van der Hagen, SJ yang sudah bertugas selama lima tahun di Ambarawa.

Pergantian Pastor berikutnya pada April 1871, dimana Pastor Joannes de Vries, SJ berpindah tugas ke Sungaislan (Bangka). Sebagai penggantinya, ditunjuklah Pastor F.H. de Bruijn, SJ pada 21 November 1871.

Pada 20 Juli 1879, Pastor J.H.W. Hendrichs, SJ yang merupakan Wakil Pastor di Batavia, ditunjuk untuk bertugas di Ambarawa. Kehadiran Pastor J.H.W. Hendrichs, SJ ini menggantikan Pastor F.H. de Bruijn, SJ yang sudah bertugas di Ambarawa sekitar 8 tahun. Pastor F.H. de Bruijn, SJ sendiri baru meninggalkan Ambarawa pada 10 November 1879 dikarenakan sakit.

Namun demikian, Pastor J.W.H. Hendrichs, SJ juga tak lama bertugs di Ambarawa. Beliau mengajukan cuti untuk berobat ke Belanda. Sebagai penggantinya, Pastor J.F. de Bruijn, SJ kembali ke Ambarawa.

Pada pertengahan tahun 1881, Ambarawa turut dilanda epidemi kolera yang hebat. Angka kematian umat meningkat begitu drastis. Pastor J.F. de Bruijn, SJ bekerja keras memberi Sakramen Pengurapan, bahkan pernah dalam sehari melayani hingga 13 orang. Pada waktu itu, Pastor J.F. de Bruijn, SJ menetap di Ambarawa hanya 2 minggu dalam sebulan. Sisanya, Beliau harus berkeliling ke Salatiga, Solo hingga Madiun.

Pada tahun 1896, berkat pelayanannya terhadap para korban wabah kolera, F.J.H. de Bruijn, SJ mendapatkan bintang jasa Orange Nassau dari Pemerintah Hindia-Belanda.

Tercatat pula pada 29 Maret 1896, di Ambarawa ada 17 pembabtisan yang sebagian besar adalah bayi. Catatan ini tersimpan di Gereja Santo Antonius Purbayan, Surakarta.

Pada 17 Agustus 1900, Pastor F.J.H. de Bruijn, SJ meninggal dunia dan dimakamkan di Pemakaman Kerkhof Ambarawa. Sebagai penggantinya adalah Pastor J.W. Mauritius Timmers, SJ yang sebelumnya bertugas di Makasar. Beliau menjabat sebagai Pastor Ambarawa sejak 19 Desember 1900 hingga 1903.

Kurang lebih 3 tahun berkarya di Ambarawa, tepatnya pada 2 Mei 1903, Pastor J.W. Mauritius Timmers, SJ pindah tugas ke Cirebon dan posisinya digantikan oleh Pastor F.B. van Meurs, SJ. Beliau hanya bertugas selama 1 tahun di Ambarawa sebelum pindah tugas ke Malang pada 19 November 1904.

Pada 16 Juni 1904 Pastor Cornelius Stiphout, SJ yang sebelumnya bertugas di Madiun pindah ke Ambarawa. Pada era Pastor Stiphout ini, Ambarawa memasuki pastoran baru. Pastor Cornelius Stiphout, SJ mendapat ijin peletakan batu pertama untuk membangun gereja yang baru pada 29 Oktober 1905.

Gereja baru yang dibangun tersebut selesai dan diberkati oleh Pastor Cornelius Stiphout, SJ pada 16 desember 1906. Bangunan gereja dan pastoran tersebut sudah hilang dan sekarang menjadi SD Pangudi Luhur Ambarawa.

Pada 30 oktober 1909, hadir 3 misionaris Jesuit dari India ke Tanah Jawa untuk mengajar di sekolah di Ambarawa, Muntilan dan Seminari Yogyakarta. Mereka adalah Frater Th. Hagdorn, A. van Kalken, SJ dan L. van Rijckevorsel, SJ.

PENDIDIKAN SEBAGAI PENDUKUNG MISI

Mulai tahun 1906 sampai tahun 1920, tidak ditemukan catatan-catatan mengenai perkembangan Paroki Ambarawa, seperti tentang kemajuan di Muntilan, Mendut, Yogyakarta, maupun di Flores, kecuali catatan mengenai pembaptisan dan perkawinan yang disimpan di Gereja Santo Antonius Purbayan Surakarta.

Pada bulan November 1920, Normalschool kedua yang diselenggarakan di Muntilan, dipindahkan ke Ambarawa dengan Pastor Adrianus van Kalken, SJ sebagai direkturnya. Inilah yang menjadi awal mula berdirinya St. Joseph College. Dengan demikian, Ambarawa mempunyai pastor tetap lagi.

Pembangunan Gereja Santo Yusup Ambarawa yang sekarang ini  (Gereja Jago) dimulai pada tahun 1923 di atas tanah yang sebagian besar sudah digunakan untuk Normalschool. Peletakan batu pertama terlaksana pada tanggal 27 Mei 1923. Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 27 April 1924, gereja yang megah dan indah itu diberkati. Gereja yang dapat menampung umat sebanyak 1.000 orang ini, statusnya sebagai gereja atau tempat ibadah bagi Normalschool Maria di Ambarawa yang secara khusus mendidik calon guru Katolik wanita.

Adapun misi Ordo Franciscanessen ini di Jawa Tengah sebagai pendukung bagi perkembangan iman Katolik. Pada tanggal 15 September 1926, Mgr. van Velsen berkenan memberkati biara beserta bangunan Normalschool bagi calon-calon guru wanita di Ambarawa.

Dua tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 8 Juli 1928, Pastor van Kalken, misi overstay, SJ memberkati gedung sekolah MULO dengan asrama milik Bruder O.O. yang sekarang lebih terkenal dengan nama FIC.

Satu tahun berikutnya, pada bulan Pebruari 1929, lembaga pendidikan dari Serikat Yesus di Ambarawa dinyatakan sebagai College. Dengan demikian, pengembangan iman di Paroki Ambarawa secara resmi didukung oleh sekolah-sekolah Katolik.

Sarana pembinaan iman lainnya, seperti pengadaan makam untuk para imam, biarawan maupun biarawati serta umat Katolik dimulai pada tahun 1931. Pada tahun ini, tertanggal 19 Juli 1931, dilangsungkan pemberkatan Kapel di Kerkhof, yang rancangannya disusun oleh Pastor van Kalken. Sebagian Kerkhof untuk pemakaman pastor, sebelah kanan untuk para bruder, dan di sebelah kiri untuk para suster. Sedangkan halaman luas disediakan untuk pemakaman umat Katolik Ambarawa.

Pada waktu itu, dari tahun 1928 sampai 1936, yang menjabat rektor College Santo Yusup adalah Pastor Leopoldus van Rijckevorsel, SJ. Banyak yang dilakukan oleh pastor ini, diantaranya meletakkan batu pertama bagi gereja di Ungaran pada tanggal 14 Agustus 1932. Disamping pelayanan rutin, kegiatan lain yang dilakukan adalah mengadakan retret tertutup untuk umat yang kurang mampu.

Pada tangal 1 Agustus 1940, diangkat seorang katekis yaitu Hieronimus Suparlan Prawirodirdjo oleh Pastor Hubertus Snijders, SJ. Ia mulai menjadi warga Paroki Santo Yusup Ambarawa pada bulan Juli 1933 mengikuti R.J. Djajaatmaja, guru Normalschool pindahan dari Muntilan. Pada waktu itu yang menjadi rektor College sekaligus sebagai pastor adalah Leopoldus van Rijckevorsel, SJ yang dibantu oleh Pastor Joannes ten Berge dan Frater Alfonsus Darmawijata serta para bruder dan suster. Bapak Hieronimus Suparlan kemudian dibina oleh Pastor Josephus Dieben, SJ. Ia mulai menjalankan tugasnya mengajar agama di sekolah-sekolah (Volkschool) lalu berkembang ke kampung-kampung.

PRAHARA DI BUMI AMBARAWA

Serangan Jepang atas Pearl Harbour pada 7 Desember 1941 membuat pasukan sekutu, termasuk tentara Belanda, meletakkan senjata pada 8 Maret 1942. Dari sini dimulailah masa kelam bagi gereja dan bangsa kita seluruhnya. Asia Timur Raya berada dibawah kekuasaan Dai Nippon. Kekayan Tanah Air kita dikuras. Dimana-mana umat Katolik dan Protestan dicurigai. Agama Kristen diangap sebagai agama Barat.

Sekolah-sekolah yang memakai bahasa Belanda (HIS, HCS, MULO, AMS dan sebagainya) ditutup paksa. Indoktrinasi Jepang semakin kuat mengakar pada rakyat. Pada akhir tahun 1942, semua sekolah di Ambarawa dinetralisir Jepang. Milik gereja sebagian besar disita.

Pada tahun berikutnya, semua sekolah Yayasan Kanisius yang masih dapat hidup berkat pengorbanan para guru tak luput dari penyitaan. Pendidikan diganti sekolah model Jepang. Perabot rumah, peralatan laboratorium, inventaris sekolah yang dibeli dengan subsidi uang pemerintah, dirampas dan dianggap milik Nippon. Sekolah-sekolah disegel. Buku-buku dirampas, disobek-sobek bahkan dibakar. Segala isi rumah lenyap. Mesin ketik, jam, radio hingga piano disita semua. Tabungan di bank tidak boleh diambil. Setiap orang Belanda harus membayar sejumlah uang layaknya upeti sebagai tanda terima kasih kepada tentara Nippon yang membela mereka. Beruntung beberapa barang berharga milik gereja masih dapat terselamatkan dan dititipkan atau diamankan kepada umat Katolik terpercaya.

Kebengisan bala tentara Nippon hampir terjadi di seluruh Tanah Air, tak terkecuali di Ambarawa. Orang Indonesia asli tak luput dari penjajahan Jepang. Pada akhirnya, bruderan, susteran, hingga sekolah-sekolah dijadikan kamp-kamp interniran. Para pastor, biarawan dan biarawati diinternir, termasuk ribuan wanita dan anak-anak kecil Belanda. Tercatat dalam sejarah nasional bahwa Ambarawa menjadi Kamp Interniran Belanda terbesar se-Asia Tenggara kala itu. Banyak pastor, bruder maupun suster yang meninggal di kamp-kamp interniran yang tersebar di Ambarawa dikarenakan siksaan tentara Jepang, serta minimnya makanan hingga obat-obatan.

SEKOKOH BATU KARANG

Masa pendudukan Jepang menjadi ujian tersendiri bagi umat dan Gereja Katolik di Tanah Air, tak terkecuali di Ambarawa. Sekalipun bala tentara Dai Nippon menguasai Ambarawa, menyita bangunan-bangunan sekolah maupun pemerintahan pada waktu itu, terasuk menginternir para Pastor, Bruder maupun Suster Belanda, Gereja Jago tetap kokoh berdiri. Militansi dan sejarah panjang misi kekatolikan di Ambarawa teruji. Kesetiaan dan keterlibatan umat awam termasuk guru, katekis hingga kerasulan para imam, suster dan bruder pribumi yang tak seberapa jumlahnya membuat gereja tetap hidup dan berkembang.

Pelayanan rohani di Ambarawa dilakukan oleh Bruder Woerjoatmadja dan Hieronimus Suparlan Prawirodirdjo. Lalu datanglah Pastor Sutopanitro, SJ di Ambarawa, yang kemudian disusul oleh pastor-pastor lain terutama setelah perang kemerdekaan. Pada saat itu, umat Katolik di Ambarawa hanya tersisa sekitar 150 orang.

ERA REVOLUSI KEMERDEKAAN

Serangan bom atom sekutu di Hirosima dan Nagasaki pada 14 Agustus 1945 turut mengubah sejarah besar bagi bangsa Indonesia, termasuk Gereja Katolik di Tanah Jawa dan Ambarawa tak terkecuali. Jepang menyerah pada sekutu. Indonesia memproklamirkan kemerdekaan. Pada waktu itu Indonesia terbagi menjadi beberapa wilayah. Sebagian besar masuk wilayah Republik, sebagian masih dikuasai Belanda, terutama daerah-daerah yang merupakan kamp interniran Belanda. Ambarawa merupakan barak interniran Belanda terbesar kala itu.

Sebagai daerah interniran, Ambarawa menjadi sasaran untuk pembebasan para interniran Belanda, sedang daerah-daerah lain dikuasai Republik, terutama bagian selatan Jawa. Dengan adanya pembagian daerah ini, gereja di Ambarawa tidak leluasa bergerak. Ambarawa menjadi fokus pembebasan interniran Belanda hingga menimbulkan perlawanan dari pihak Republik, dalam hal ini Tentara Keamanan Rakyat (TKR) hingga berujung pada Perang Palagan Ambarawa pada tahun 1949. Keterbatasan ini menjadikan gereja hanya dapat melangsungkan Misa pada malam hari. Sebagai catatan, para Romo termasuk para seminaris tidak dapat keluar dari wilayah Ambarawa dan sebaliknya, mereka yang sudah keluar tidak dapat kembali.

AMBARAWA ERA ORDE LAMA

Pada era awal kemerdekaan,   seiring ketegangan politik pada masa itu, banyak misionaris Belanda yang mengalami kesulitan untuk menuju ke Tanah Misi di Indonesia, termasuk ke Ambarawa. Dari keadaan ini dicari tenaga-tenaga misi dari Provinsi Gerejawi lain seperti dari Jerman, Swiss, Belgia, Hongaria dan Filipina.

Keterbatasan tenaga misi tersebut menimbulkan munculnya organisasi-organisasi Katolik seperti Partai Katolik, Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), PMKRI, AMKRI, Front Pemuda Katolik, sebagai swadaya perkembangan iman Katolik di Indonesia termasuk di Ambarawa.

Dengan semakin kuatnya Partai Komunis Indonesia (PKI), menimbulkan berbagai pertentangan di tubuh gereja. Rumah sakit di Ambarawa yang notabene milik Suster Fransiskan, sebagian besar karyawannya masuk menjadi anggota SOBSI yang bernaung di bawah PKI.

Pada bulan April 1956, suster-suster berkebangsaan Belanda bahkan diusir dari Rumah Sakit Ambarawa. Sejumlah lebih dari 3.000 anggota Muda Katolik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta menentang keras aksi ini, namun Mgr. A. Soegijapranata menentangnya. Beliau beralasan bahwa tindakan tersebut tidak menyelesaikan masalah serta membahayakan kepentingan Gereja secara luas.

ERA KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG

Berdirinya Keuskupan Agung Semarang pada 1961 menandai lahirnya era baru gereja. Hal ini tak pelak berpengaruh pada sejarah perkembangan Gereja Santo Yusup Ambarawa. Banyak kebijakan pastoral di Paroki Ambarawa yang berkaitan erat dengan Keuskupan Agung Semarang, diantaranya adalah pembentukan Hirarki Gereja di tingkat Paroki.

Guna mengelola kelangsungan hidup menggereja di tingkat Paroki maupun wilayah, dibentuklah Dewan Paroki. Pemetaan Paroki Ambarawa juga memasuki era baru. Paroki Santo Yusup Ambarawa mulai dibagi-bagi menjadi beberapa Lingkungan, Wilayah dan Stasi berdasarkan teritorial dan jumlah umat. Beberapa kapel dibangun untuk memenuhi kebutuhan Perayaan Ekaristi bagi umat-umat yang letaknya jauh dari gereja induk.

Pada era ini, peran serta umat dalam hidup menggereja meningkat cukup pesat. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kesadaran dan tanggung jawab kaum awam dalam hidup menggereja di setiap basis maupun lingkungan masing-masing. Geliat umat dalam kehidupan menggereja juga mulai nampak dalam beberapa organisasi maupun kelompok-kelompok liturgis di Paroki Santo Yusup Ambarawa.

ERA KEBANGKITAN KAUM MUDA

Periode 1980 hingga menjelang pergantian Milenia baru, dinamika kehidupan menggereja didominasi oleh kaum muda. Munculnya ragam kegiatan kepemudaan tersebut aktif bergerak baik di tingkat Paroki, Wilayah hingga ke akar rumput di Lingkungan-Lingkungan. Hal ini sebagai salah satu bukti keberhasilan pendidikan Katolik di era sebelumnya. 

Gereja terus berkembang. Perpaduan antara pengalaman generasi tua dan semangat genaarasi muda saling bersinergi menggerakkan kehidupan menggereja bagi umat di Paroki Ambarawa. Kolaborasi tua-muda ini tercermin dari banyaknya kegiatan-kegiatan yang melibatkan kaum muda Katolik di Ambarawa. Dewan Pastorl Paroki yang seolah didominasi oleh kaum tua dapat sejalan dengan kegiatan-kegiatan gerejawi yang diisi oleh muda-mudi Katolik Ambarawa.

Tercatat Ambarawa memiliki buletin gereja yang diberi nama Ragi, wadah komunitas seni yang bernaung dibawah Teater Tawar, pelayanan dan pendampingan iman kaum muda dalam bentuk Taruna dan Bentara Kristus, himpunan pecinta alam yang akrab dikenal sebagai Rakapala, kaderisasi kaum muda Katolik dalam bentuk Kasis, himpunan siswa-siswi Katolik dalam ajang Siska, serta Misdinar yang sebelumnya didominasi oleh anak laki-laki kemudian bertransformasi menjadi Putra-Putri Altar dimana anak perempuan mulai dapat bergabung di dalamnya.

Sebagai salah satu bentuk Pewartaan lewat media cetak, Gereja Santo Yusup Ambarawa membuat buletin bulanan yang diberi nama Ragi. Sebagai salah satu ujung tombak Pewartaan, Ragi membagikan segala bentuk informasi dari gereja untuk umat.

Jurnalistik era 80an ini begitu efektif menjangkau lapisan umat hingga ke tingkat Stasi yang jaraknya lumayan jauh dari Ambarawa. Tak hanya sebagai sarana penyedia informasi, Ragi juga menjadi sarana pengembangan iman umat lewat tulisan-tulisan dan artikelnya. Ragi selalu dinanti oleh umat. Keberadaannya betul-betul menjadi ‘ragi hidup’ yang membuat kehidupan iman umat tak lagi hambar dan menjadi penyejuk iman tersendiri di mata umat.

Di bidang kesenian hadir Teater Tawar. Bermula dari kesamaan minat pada bidang seni peran, muda-mudi Katolik Ambarawa membuat sanggar teater yang semula dinamai Teater Mentah (Mencintai Tanah Air) yang kemudian berganti nama menjadi Teater Tawar. Kiprahnya tak hanya di lingkup gereja namun juga di luar gereja hingga pemerintahan. Visualisasi Kisah Sengsara Tuhan Yesus pada Perayaan Jumat Agung menjadi kiprah rutin Teater Tawar dari generasi ke generasi.

Pada tahun 1987-1988, dibentuklah Taruna dan Bentara Kristus oleh Roo Sugondo, SJ. Taruna dan Bentara Kristus menjadi ikonik Ambarawa era 80an. Taruna Kristus diperuntukkan bagi mereka yang masih duduk di bangu SMP atau di rentang usia 12-15 tahun, sedang Bentara Kristus untuk mereka yang sudah duduk di bangku SMA atau di rentang usia 16-18 tahun.  Keberadaan dua kelompok ini menjadi militansi tersendiri bagi muda-mudi Katolik yang tergabung dalam Mudika. Bisa dikatakan bahwa dari dua kelompok inilah muncul kader-kader muda yang terbukti mengisi dan menjalankan laju perkembangan Gereja Santo Yusup Ambarawa pada saat ini. Selain membantu kelancaran Perayaan Ekaristi, Taruna dan Bentara Kristus juga membekali diri lewat kegiatan rekoleksi, retret serta live in.

Selain Mudika, kegiatan kaum muda Katolik era 90an juga ditandai dengan berdirinya Rakapala. Bermula dari kesamaan hobi akan kecintaan pada alam, muda-mudi Katolik Ambarawa membentuk Remaja Katolik Pecinta Alam atau yang lebih tenar dengan sebutan Rakapala. Ruang lingkup kegiatannya tak sebatas pada kegiatan yang berhubungan dengan alam, terlebih Rakapala turut aktif dalam pendampingan Sekolah Minggu di gereja. Anggotanya tersebar dari berbagai wilayah di Ambarawa.

Dibawah bimbingan Romo Roni, Rakapala tumbuh dan semakin berkembang mewarnai dinamika kegiatan anak muda di tingkat Paroki. Dari kegiatan demi kegiatan Rakapala, baik fisik maupun rohani inilah muncul kader-kader yang cukup militan dan turut mengisi jajaran Dewan Pastoral Paroki hingga saat ini.

Dari dunia pendidikan, Paroki Ambarawa mengadakan Kaderisasi Basis (Kasis), tepatnya pada 1992. Kaderisasi Basis yang dilaksanakan sebanyak 7 tahap dan ditutup denga Retret ini didampingi oleh Romo Hartosubono, Pr dari Komisi Kepemudaan Keuskupan Agung Semarang.

Kaderisasi kaum muda gereja ini bertujuan untuk membentuk kader-kader gereja yang tangguh dan militan. Ketangguhan dan militansi ini diuji lewat rekoleksi demi rekoleksi secara bertahap dan ditutup dengan Retret.

Hasilnya, para kader Kasis ini banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan Paroki baik saat Natal maupun Paskah, serta pendampingan rekoleksi bagi adik-adik angkatan berikutnya. Hingga sekarang, militansi ini juga tampak teruji dalam keterlibatan langsung hidup menggereja di tingkat Paroki, Wilayah hingga Lingkungan tempat tinggalnya.

Jelang pergantian Milenial, dibentuklah Siska yang menjadi wadah berkumpulnya siswa-siswi Katolik di Ambarawa. Siska terlahir dari keprihatinan gereja terhadap keberadaan kaum muda yang terkotak-kotak dalam beberapa kelompok dan komunitas. 

AMBARAWA ERA MILENIAL

Perkembangan Paroki Ambarawa di era Milenial ditandai dengan perkembangan Wilayah-Wilayah terluar yang masih berada di lingkup Paroki Santo Yusup Ambarawa, baik itu pembangunan Kapel di Banyubiru, Gedong, Brongkol, Trayu, Sumowono, Bandungan, Tambakboyo, Bejalen maupun Bawen.

Tak hanya pembangunan fisik, pendataan umat juga mulai dibenahi sesuai dengan arahan yang mendasar yang terpusat di Keuskupan Agung Semarang. Di bidang Sumber Daya Manusia, paroki juga memberikan pelatihan-pelatihan bagi Tim-Tim Pelayanan yang benaung di bawah Dewan Pastoral Paroki.

Di bidang ekonomi, gereja turut aktif memberikan bantuan bagi umat termasuk warga sekitar yang membutuhkan, baik itu bantuan sembako, bantuan usaha kecil hingga menengah, termasuk didalamnya memberikan layanan kesehatan yang rutin dilakukan, baik pengobatan gratis maupun aksi donor darah.

Di bidang sosial-kemasyarakatan, gereja turut aktif memberikan pendampingan serta pemberian bantuan bagi masyarakat yang membutuhkan, termasuk di dalamnya pendampingan kepada para napi di lembaga pemasyarakatan. Selain itu, komunikasi lintas iman juga semakin dipererat dengan membangun jaringan lintas iman yang mengedepankan tolerasi antar umat beragama di Ambarawa.

Di bidang pendidikan, gereja tak hanya menyelenggarakan Misa Pelajar pada hari Jumat pertama setiap bulannya, terlebih memberikan beasiswa bagi siswa-siswi Katolik berprestasi maupun yang membutuhkan. Bagi kaum muda, kegitan menggereja tak hanya sampai di tingkat pastoran, namun juga membangun jaringan dengan paroki-paroki sekitar dalam Rayon Bagusto (Bedono, Ambarawa, Girisonta, Ungaran, Salatiga dan Tealrejo). 

Perkembangan iman umat Ambarawa dari tahun ke tahun juga kian meningat. Hal ini dapat dicermati lewat pembaptisan anak, baptis dewasa, penerimaan sakramen krisma hingga pernikahan yang rutin diselenggarakan. Pendampingan iman dalam tingkatan berjenjang yang dicanangkan oleh Keuskupan Agung Semarang juga terbangun rapi mulai dari Pendampingan Iman Usia Dini (PIUD), Pendampingan Iman Anak (PIA), Pendampingan Iman Remaja (PIR), Pendampingan Iman Orang Muda (PIOM), Pendampingan Iman Orang Dewasa (PIOD), hingga pendampingan untuk umat lanjut usia yang tergabung dalam PIUL. 

Sebagai catatan kecil, ketika Pandemi Covid 19 melanda dunia beberapa waktu lalu, Ambarawa berusaha tetap eksis dalam melayani umatnya. Sekalipun gereja sempat ditutup untuk beberapa waktu, Perayaan Ekaristi tetap terlayani lewat jalur online via live streaming. Gereja tetap hadir di tengah umat. Bahkan ketika memasuki era new normal, Gereja Ambarawa berani membuka an menyelenggarakan Misa secara offline dengan pembatasan dan aturan yang begitu ketat.

Tak terasa Paroki Ambarawa hampir menginjak usia 165 tahun dan bangunan gereja yang tegak menjulang itu nyaris berusia seabad pada 2024 nanti. Puji Tuhan, lewat berbagai terpaan ujian dari Sang Waktu yang pernah dilalui, Gereja Jago tetap kokoh berdiri serta melayani umat hingga saat ini hingga ke depan nantinya.

One thought on “Sejarah Paroki

  • Sebaiknya foto kapel-kapel yang ada baik interior dan exterior kapelnya bisa ditampilkan, syukur dengan jadwal misa sehingga orang dari luar paroki yang kebetulan mau berkunjung bisa terbantu. Terima kasih, Berkah Dalem Gusti

Comments are closed.